KITAB SUCI AL-QURAN


Di sebuah kampung ada seorang petani lugu yang memuja batu besar di sebelah rumahnya. Setiap malam Jumat Kliwon dia menyajikan berbagai makanan tertentu di hadapan batu itu. Menurut kepercayaannya di dalam batu besar itu ada kekuatan gaib yang mengendalikan kehidupan dan kebiasannya memberikan sesaji adalah merupakan ibadah. Di Indonesia di Suku Badui Dalam masyarakatnya juga mempunyai kepercayaan dan ritual keagamaan yang unik. Mereka menyebut kepercayaan mereka dengan Sunda Wiwitan. Di Barat bahkan ada sosiolog terkemuka, Robert N Bellah yang mencetuskan agama sipil. Ketaatan warga negara dan berbagai simbol dan upacara kenegaraan menurutnya setara dengan agama. 

Pertanyaannya adalah, apakah beberapa contoh di atas benar-benar bisa disebut dengan agama? Apa sebenarnya yang disebut dengan agama? Apa kriterianya? Lantas diantara agama-agama itu mana yang benar? Untuk menjawab pertanyaan ini kita akan mengkajinya dari dua sudut pandang: secara bahasa atau akar kata (etomologi) dan secara istilah (terminologi).

Pertama, pengertian agama secara bahasa (etimologi). Di sini akan dikaji melalui tiga bahasa, Indonesia, Inggris, dan Arab. Dalam bahasa Indonesia, kata “agama” berasal dari bahasa Sansekerta: “a” berarti “tidak”, dan “gama” berarti kacau, atau kocar-kacir. Jadi agama berarti tidak kacau atau teratur. Ada juga yang mengartikan lain bahwa “a” berarti tidak dan “gama” artinya pergi. Jadi agama artinya tidak pergi atau menetap. (Anshari, 1987: 122-123).

Dari asal kata ini dapat ditangkap pengertian bahwa agama membuat sesuatu menjadi teratur. Agama senantiasa ada dan menetap dan tak pernah musnah dari dalam peradaban manusia. Kata ini pada mulanya adalah untuk menunjuk agama Hindu dan Budha. Hal ini penting untuk ditekankan. Sebab ketika kata ini digunakan untuk menyebut agama Islam misalnya menjadi bias, seolah-olah agama Islam dengan berbagai pesan dan ruang lingkup ajarannya sama dengan Hindu dan Budha.

Selanjutnya, dalam bahasa Inggris, agama adalah religi yang berasal dari kata Latin relegare yang artinya mengikat. Agama bersifat mengikat para pemeluknya. Beragama berarti mengikatkan diri atau terikat atas suatu cara pandang dan aturan-aturan tertentu. (Kahmad, 2002: 13). Konteks kata religi ini adalah merujuk pada agama Kristen yang saat itu mendominasi Barat. Sekali lagi ini penting untuk disebutkan karena pada saat kata religi digunakan untuk menyebut Islam juga menjadi ada bias seolah-olah Islam itu juga sama dengan Kristen.

Selanjutnya dalam bahasa Arab, agama adalah ad-din. Kata ad-dīn merupakan bentuk mashdar (gerund) dari kata: dāna-yadūnu. Dalam Kamus Lisan ‘Arab, ad-dīn mempunyai arti al-mukāfaah (pembalasan), al-jazā (balasan), al-thā’ah (ketaatan), atau suatu sikap ketaatan atau penghambaan yang didasari rasa ketakutan (wahsyah atau rahbah). Sedangkan dalam Kamus al-I’jaz wa al-Ījaz, al-dīn berarti perjanjian dan persiapan. Kata dāna “dāna” arti dasarnya adalah “hutang” atau sesuatu yang harus penuhi atau ditunaikan. Agama adalah sesuatu yang harus ditunaikan oleh manusia yang mengabaikannya berarti orang tersebut berhutang. (al-‘Askari, 2008: 510).

Kata ad-dīn cakupan maknanya berbeda dengan “agama” dan “religi”. Kata “agama” dan “religi” lebih merujuk pada hubungan antara manusia dengan Tuhan. Tapi “ad-din” mempunyai arti hubungan antar manusia dengan Tuhan, manusia, bahkan alam semesta. Kata inilah yang relevan dengan Islam. Di Indonesia kita sudah terlanjur menggunakan kata “agama” untuk menyebut semua Hindu, Kristen, Islam, dan sebagainya. Barangkali tidak perlu juga kita menggantinya. Tapi yang harus kita ingat jika menyebut “agama Islam” maka cakupan doktrin dan ruang lingkup ajarannya tidak bisa disamakan dengan agama-agama lain. Islam mempunyai keunggulan dan karakteristik tersendiri jika dibandingkan agama lain (secara lebih detail tentang hal ini dijelaskan pada bab berikutnya).

Kedua, pengertian agama secara istilah (terminologi). Secara terminologi dapat dijumpai banyak definisi tentang agama. Satu sama lain berbeda-beda tergantung cara pandangnya. Namun secara umum dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) jenis. Pertama, definisi agama menurut orang yang tidak beragama. Ciri definisi ini pada umumnya mendudukkan agama sebagai budaya. Dalam definisi ini agama adalah hasil karya cipta manusia. Agama merupakan bagian kecil dari budaya yang dimiliki manusia. Dengan kata lain, agama adalah bikinan manusia. Kedua, definisi agama menurut orang beragama. Definisi ini menempatkan agama di atas budaya. Dalam perspektif ini agama adalah ciptaan Tuhan, meski kemudian melebur dan mewarnai budaya manusia.

Beberapa definisi yang termasuk jenis pertama antara lain adalah definisi agama menurut Melford Spiro. Menurutnya agama adalah “Satu institusi yang terdiri dari pola-pola interaksi kultural dengan makhluk-makhluk adikodrati yang dipercayai secara kultural” (An institution consisting of culturally patterned interaction with culturally postulated superhuman beings) (Marzali, 2016: 60). Perhatikan pada bagian akhir definisi ini, “dipercayai secara kultural”. Spiro menyatakan bahwa agama adalah kepercayaan yang dibentuk secara kultural. Agama berasal dari manusia. Manusialah yang membentuk agama tersebut, bukan Tuhan.

Selanjutnya, menurut Clifford Geertz, agama adalah sistem simbol yang punya fungsi psikologikal, kultural, dan sosial sehingga semangat dan motivasi abstar yang berada di balik simbol itu nampak seolah-olah realistik. (“…(1) asystem of symbols which acts to (2)establish powerful, pervasive, and longlasting moods and motivations in men by (3) formulating conceptions of a general order of existence and (4) clothing these conceptions with such an aura of factuality that (5) the moods and motivations seem uniquely realistic”). (Marzali, 2016: 60).

Perhatikan kalimat terakhir definisi ini “nampak seolah-olah realistik” (seem uniquely realistic). Jadi menurut Geertz agama itu sebenarnya tidak nyata. Tidak realistik. Tapi melalui berbagai perwujudan simbol-simbol agama kemudian menjadi seolah-olah nyata. Seolah-olah benar. Tuhan tidak ada, surga dan neraka juga tidak ada. Tetapi karena begitu kuatnya doktrin simbol-simbol tentang berbagai hal gaib itu kemudian seolah-olah menjadi benar-benar ada. Artinya agama itu adalah sebenarnya hasil rekaan manusia saja.

Milton Yinger menyatakan: “Agama adalah pengetahuan kultural tentang sang supernatural yang digunakan oleh manusia untuk menghadapi masalah paling penting tentang keberadaan manusia di muka bumi ini” (Religion is the cultural knowledge of the supernatural that people use to cope with the ultimate problem of human existence). Agama menurut Yinger adalah pengatahuan yang bersifat kultural. Pengetahuan yang berasal dari budaya manusia, bukan ciptaan dan tak ada sangkut pautnya dengan Tuhan. Termasuk doktrin tentang Tuhan yang ada pada agama adalah rekaan manusia belaka. (Marzali, 2016: 60).

Selain definisi di atas masih banyak lagi definisi lain yang senada. Pada intinya, secara umum para sarjana Barat menganggap agama sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Mereka tidak percaya terhadap agama sebagaimana kepercayaan kaum beragama pada umumnya. Diktrin-doktrin utama agama terutama berkenaan dengan Tuhan dan hal-hal gaib lainnya menurut mereka tidak ilmiah sehingga tidak bisa dipercaya kebenarannya.

Sikap mereka terhadap agama berbeda-beda. Ada yang membiarkan agama dengan alasan secara fungsional mempunyai peran penting dalam kehidupan. Namun tak sedikit diantara mereka yang mengabaikan bahwa membenci agama. Sebab menurut mereka agama justu membawa pengaruh negatif. Karl Marx dan Friedrich Wilhelm Nietzsche adalah diantaranya. Menurut Marx agama seperti candu yang memabukkan manusia. Sedangkan Nietzsche menyatakan bahwa agama telah membuat manusia menjadi lemah sehingga sudah waktunya doktrin tentang Tuhan itu dilenyapkan.

Sikap menolak dan kebencian mereka terhadap agama sebanarnya bukanlah tanpa sebab. Hal ini bermula dari sejarah Barat di Abad Pertengahan dimana agama Kristen saat itu mendominasi Barat. Saat itu muncul pertentangan antara ilmuwan dan para agamawan. Banyak pemikiran dan temuan para ilmuwan yang menurut para pendeta bertentangan dengan al Kitab. Pertentangan ini kemudian memunculkan tragedi inquisi dimana para ilmuwan kemudian ditangkapi dan disiksa dengan amat keji. Peristiwa itu menimbulkan duka dan dendam yang mendalam bagi para ilmuwan. Kesimpulan mereka semakin mantap bahwa agama/religi tidak cocok untuk mengatur kehidupan.

Para ilmuwan ini terus bergerak. Pemikiran-pemikiran mereka terus berkembang meskipun diantara mereka ditangkap dan disiksa. Hingga akhirnya muncul kebangkitan dan kemenangan para ilmuwan yang disebut dengan renaisance (pencerahan). Itulah titik mula munculnya era modern, era yang penuh dengan semangat ilmu pengetahuan tapi kemudian membawa serta kebencian terhadap agama. Agama yang mereka tunjuk saat itu sebenarnya adalah Kristen. Tapi kemudian semua agama kena dampaknya, termasuk Islam. Pada era inilah kemudian agama dipinggirkan dan dipisahkan dengan urusan kehidupan duniawi. Inilah yang disebut dengan faham sekular. Pada akhirnya tidak hanya dipisahkan, tapi kemudian juga banyak diantara mereka yang membunuh agama.

Definisi agama di atas memang tidak sepenuhnya salah. Memang benar ada beberapa agama di dunia ini yang lahir dari budaya, lahir dari kreasi manusia. Agama ini lahir dari pemikiran manusia dan mitos-mitos yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sumber kebenarannya. Sebagai contoh adalah kepercayaan animisme dan dinamisme. Kepercayaan semacam ini tidak bisa diklarifikasi dari mana asalnya, siapa pembawanya, apakah si pembawa kepercayaan ini bisa dipercaya atau tidak.

Di kampung saya misalnya dulu ada tradisi membakar kemenyan serta mempersembahkan beberapa jenis makanan untuk memuja leluhur. Ritual ini diadakan setiap kali ada hajat penting misalnya mau menikahkan anak, panen, dan lain-lain. Kemudian ada juga yang memuja benda sakti seperti keris, batu cincin, dan lain-lain yang konon dapat membawa keberuntungan. Jika ditanya dan diklarifikasi ritual semacam ini dari mana, jawabnya adalah warisan nenek moyang. Tapi entah nenek yang mana dan moyang yang mana tidak jelas. Hanya katanya dan katanya. Itulah yang disebut mitos.

Selain contoh di atas, kepercayaan semacam ini masih banyak lagi bentuknya. Melihat bentuknya memang mirip dengan agama dalam arti mermpunyai ritual penyembahan dan ada kepercayaan pada kekuatan gaib. Tapi semua itu hanya prasangka yang sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan sumber kebenarannya. Agama inilah yang disebut dengan agama ardhi (agama bumi), sebuah agama yang direka-reka dan diciptakan oleh manusia. Agama yang berasal dari budaya masyarakat.

Untuk agama yang semacam ini, secara obyektif definisi di atas bisa dibenarkan. Meskipun secara subyektif bagi semua pemeluk agama tentu saja tidak bisa dibenarkan. Sebab bagaimanapun dan apapun agamanya, meskipun itu animisme dan dinamisme tentu tidak akan terima kalau dikatakan ajaran agamanya ciptaan manusia. Definisi di atas menjadi lebih salah lagi ketika diterapkan untuk Islam yang doktrin dan ajarannya jauh berbeda dengan agama-agama lain.

Selanjutnya, definisi agama yang mendudukkan agama sebagai ciptaan Tuhan atau dengan kata lain definisi agama menurut orang yang beragama adalah sebagai berikut. Menurut Sidi Gazalba agama ialah kepercayaan kepada Yang Kudus, menyatakan diri berhubungan dengan Dia dalam bentuk ritus, kultus dan permohonan dan membentuk sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu. (Gazalba, 1979: 103). Sedangkan Harun Nasution mendefinisikan agama sebagai keterikatan manusia dengan kekuatan gaib yang lebih tinggi dari manusia yang mendorong manusia untuk berbuat baik. Menurut Harus Nasution ada 4 unsur pokok dalam agama: (1) kekuatan gaib, (2) keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidup, (3) respon yang bersifat emosionil dari manusia, (4) paham adanya yang kudus (sacred) dan suci dalam bentuk kekuatan gaib. (Nasution, 2008: 4).

Sedangkan Muhammad Daud Ali mendefinisikan: “Agama adalah kepercayaan pada Tuhan yang dinyatakan dengan mengadakan hubungan dengan Dia melalui upacara, penyembahan, dan permohonan, dan membentuk sikap hidup  manusia berdasarkan ajaran agama itu.  (Ali, 2018: 39).

Inilah definisi agama yang kita maksudkan. Ada 2 (dua) perbedaan mendasar antara definisi yang diberikan oleh para sarjana Barat, definisi yang menyatakan agama sebagai bagian dari budaya, dengan beberapa definisi yang terakhir ini. Pertama, definisi yang terakhir ini (definisi agama menurut orang beragama), menitikberatkan pada aspek keyakinan/kepercayaan. Inilah unsur pertama agama. Bukan aspek-aspek instrumental yang teramati. Kedua, pengakuan adanya kekuatan gaib (Tuhan) yang dipercaya sebagai pengatur kehidupan tentu saja sebagai pencetus agama tersebut.

Secara lebih rinci, unsur-unsur agama adalah sebagaimana yang dijelaskan Harun Nasution di atas yaitu terdiri dari: (1) adanya kekuatan gaib, (2) keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidup, (3) respon yang bersifat emosionil dari manusia, (4) paham adanya yang kudus (sacred). Jika melihat unsur-unsur ini maka berbagai contoh ritual penyembahan sebagaimana disebutkan di awal pembahasan ini bisa disebut agama. Namun demikian dalam konteks Indonesia, yang bisa disebut agama adalah yang mempunyai ajaran termasuk ritual, kitab, pembawa ajaran, dan Tuhan yang jelas. Yang tidak memenuhi unsur ini disebut aliran kepercayaan.

Selanjutnya agama sipil yang dicetuskan Robert N Belah berarti tidak termasuk agama. Karena tidak ada unsur kekuatan gaib dan suci. Kecuali jika berbagai simbol dan upaca kenegaraan diyakini berhubungan dengan kekuatan gaib. Jika demikian bisa saja disebut agama atau minimal aliran kepercayaan. Sekarang pertanyaan terakhir kita adalah, jika semua itu bisa disebut agama, lantas manakah yang paling bisa dipercaya? Atau lebih jelaslnya mana agama yang benar diantara sekian banyak agama itu? Jawaban pertanyaan ini akan dibahas pada bab selanjutnya.

Kebutuhan Manusia atas Agama

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, zaman modern, selain membawa semangat ilmu pengetahun juga membawa dendam dan kebencian terhadap agama. Agama dianggap primitif dan tidak mendukung kemajuan hidup. Agama ditempatkan di ruang privat, bahkan disingkiran dari kehidupan. Auguste Comte, sosiolog ternama asal Prancis mengemukakan teori tiga tahap perkembangan manusia, yaitu: tahap mitis/teologis, tahap metafisi, dan tahap positifis. Pada tahap mitis manusia menyerahkan segala kehidupannya pada kekuatan gaib. Selanjutnya pada tahap metafisi manusia mulai beranjak meninggalkan kekuatan gaib. Pada tahap ini manusia mulai belajar berpikir rasional. Kemudian pada tahap positifis manusia sudah sepenuhnya menggunakan rasionalitasnya dalam menghadapi hidup. Inilah tahap modern dimana manusia sudah tak lagi membutuhkan Tuhan.

Hari ini kita tengah berada di tahap terakhir itu. Tapi apa yang kita lihat? Ternyata agama tidak ditinggalkan manusia. Memang benar bahwa arus modernisasi telah menggerus mental spiritual manusia sedemikian rupa. Tapi itu tidak melenyapkan agama. Di beberapa tempat justru muncul kebangkitan agama. Bahkan di negara-negara Barat sendiri sebagai pusatnya sekularisme agama juga tumbuh dengan subur.

Kalau kita perhatikan, agama selalu lekat sepanjang sejarah manusia. Tak ada satu masyarakat dan satu peradaban pun yang absen dari agama. Di Barat bahkan muncul agama-agama baru hasil rekayasa manusia. Pusat-pusat relaksasi seperti yoga dan meditasi-meditasi lain banyak kian marak. Agama merupakan tabiat (watak dasar) manusia. Tanpa diajarkan satu agama pun, manusia ternyata mencari-cari agama. Orang-orang modern-sukelar mengalami kegersangan spiritual sehingga merindukan kembali hadirnya agama.

Kenyataan ini menandakan bahwa teori Auguste Comte tidak benar. Hal ini juga menandakan bahwa manusia memang pada hakikatnya membutuhkan agama. Perkembangan ilmu pengetahun yang ditandai dengan munculnya berbagai inovasi teknologi ternyata tidak dapat memenuhi seluruh hajat hidup manusia. Solusi terus diupayakan tetapi masalah demi masalah terus bermunculan yang sebagiannya justru ditimbulkan oleh teknologi-teknologi tersebut. Kenyataan hidup dengan berbagai misterinya tidak dapat dipecahkan seluruhnya dengan ilmu pengetahuan. Butuh cara lain untuk menghadapinya yaitu agama.

Manfaat Agama dalam Kehidupan Dunia

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, unsur utama agama adalah kepercayaan pada Tuhan dan hal-hal gaib lainnya. Seandainya ada yang menyangsikan semua itu, apa sebaiknya yang ia lakukan? Sebaiknya tetap percaya. Bangunlah kepercayaan akan hal itu. Itulah pilihan paling cerdas, bahkan seandainya hal-hal gaib itu misalnya, sekali lagi misalnya, ternyata tidak ada sekalipun.

Mari saya beri contoh begini. Di suatu perguruan tinggi ada pengumuman bahwa para mahasiswanya secara acak akan diberangkatkan ke luar negeri. Misal anda salah satu dari mahasiswa itu apa yang sebaiknya anda lakukan? Perhatikan, “secara acak” berarti belum tentu anda, ya. Karena belum tentu anda apakah sikap anda kemudian tidak mempersiapkan apa-apa? Kalau demikian berarti anda tidak cerdas. Mahasiswa yang cerdas tentu membuat langkah antisipatif. Dia akan membuat paspor, belajar bahasa Inggris, dan persiapan-persiapan lain yang memungkinkan anda siap jika sewaktu-waktu ternyata andalah yang mendapat panggilan ke luar negeri.

Lalu bagaiamana jika setelah anda mempersiapkan berbagai hal ternyata bukan anda yang dipanggil? Apakah anda merasa salah dengan apa yang anda lakukan? Apakah semua yang anda persiapkan mencadi tak ada gunanya sama sekali bagi anda. Tentu saja tidak. Paspor, kemahiran dalam berbahasa asing dan lain-lain persiapan itu telah mampu meningkatkan kualitas diri anda. Semua itu tetap bermafaat bagi anda, meski anda tidak dapat panggilan ke luar negeri.

Demikianlah perumpamaan keimanan pada hal-hal gaib. Demikianlah perumpaan memutuskan diri untu mempercayainya dan beragama. Semua itu tetap bermanfaat bagi kehidupan anda, bahkan seandainya hal-hal gaib itu ternyata tidak ada sekalipun. Padahal ada banyak bukti kuat yang bahwa semuanya benar-benar ada dan dapat dipercaya (detail hal ini akan dibahas pada bab selanjutnya). Bertuhan, beragama itu sangat bermanfaat. Bukan hanya pada saat meninggal nanti. Tapi dalam kehidupan dunia ini sudah memberikan banyak manfaat.

Beberapa manfaat praksis dari agama dalam kehidupan dunia ini adalah: pertama, kepercayaan kepada Tuhan membuat manusia mempunyai kekuatan mental yang lebih baik. Pada saat ia jatuh dalam kesusahan, kepercayaan itu memberikan kekuatan tersendiri. Orang ini tidak pernah putus asa dalam keadaan apapun. Bahkan pada saat semua usaha yang bisa ia lakukan ia masih mempunya opimisme. Sebab dia percaya bahwa Tuhan mampu memberikan pertolongan pada dirinya melampau daya nalar dan keampuan usaha yang ia bisa. Kedua, orang yang percaya Tuhan cenderung bahagia hidupnya. Tuhan membuatnya untuk senantiasa bersyukur atas apa yang Tuhan berikan kepadanya sehingga hal itu mendorongnya merasa lebih bahagia atas segala hal yang ia terima. Ketiga, kepercayaan pada Tuhan menurunkan sifat jujur, adil dan sifat-sifat baik lain yang sangat bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Dia merasa senantiasa diawasi Tuhan sehingga dimanapun dia akan berusaha melakukan kebaikan. Keempat, kepercayaan pada Tuhan membuat hidupnya terkendali secara seimbang. Dia tidak lepas kontrol pada saat sedang sukses dan tidak pula putus asa saat mengalami kegagalan. Ia sadar bahwa kesuksesan adalah titipan amanah dari Allah dan kegagalan hanyalah sebatas ujian atas dirinya. 

Manfaat Agama di Akhirat

Melalui agama kita diberitahu akan adanya kehidupan akhirat. Manusia akan mati jasadnya. Tapi setelah itu ruh kita akan melanjutkan perjalanan panjang menuju tempat terakhir. Perjalanan itu diuraikan secara gamblang dalam ajaran agama (Islam) mulai dari kematian hingga sampai surga/neraka. Pengetahuan ini membuat manusia menjadi waspada dan mempersiapkan diri itu perjalanannya ke alam akhirat. Ruh kita tidak bisa sampai pada surga ketika dalam keadaan kotor penuh dosa. Karena itulah kehidupan di dunia pada hakikatnya adalah tahap persiapan untuk mengumpulkan bekal melanjutkan perjalanan kita menuju akam akhirat.

Atas segenap informasi dalam ajaran agama itulah kemudian kita dapat merencanakan ke tempat mana perjalanan kita akan berakhir, surga atau neraka. Tentu saja hanya orang yang tak beragama saja yang tidak memilih surga. Atau barangkali beragama tapi tidak serius sehingga dia tidak mengupayakan dengan baik agar ia masuk surga. Agama telah mengajarkan semuanya, tinggal bagaimana manusianya. Manusia yang cerdas tentu akan mengikuti ajaran agama dalam rangka mencapai cita-cita tertingginya: hidup bahagia di surga selama-lamanya.[]

DAFTAR PUSTAKA

Anshari, Endang Sarfuddin, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya : Bina Ilmu, 1987).

Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama, (Bandung PT. Remaja Rosdakarya: 2002).

Al Askari, Abu Hilal, Al-Furuq Al-Lughowiyyah, (Pustaka Ridwana, 2008).

Spiro, Melford (1966) “Religion: Problems of definitions and explanation,” in M. Banton

(ed.), Anthropological Approaches to the Study of Religion. London: Tavistock.

Gazalba, Sidi, Ilmu Filsafat dan Islam Tentang Manusia dan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Universitas

Indonesia Press, 2008).

Upe, Ambo, Tradisi Aliran Dalam Sosiologi dari Filosofi Posivistik ke Post positivistic, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010).


 

Komentar